468x60 Ads

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural


T. Wijaya | 01.08 |

Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun
Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan
kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya
dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial
dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi
yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan
kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru
yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika
bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.


Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya telah
digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila:
(1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan
bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan
pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya,
dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.


Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing.
Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di
media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme
akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang
Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang
Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas
dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada
tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna
di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif
melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas
untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam
berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena
corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang
Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh
para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah
dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di
tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar
dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer
(1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa
sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan
multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan
sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara
para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan
multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang
relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..


Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau
setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai
oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya
bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur
kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan
politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak
kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah
korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak
nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam
struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi
keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman
etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh
berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber
daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa
Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang
negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut
akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada
tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan
pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan
konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam
memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas,
dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan
birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau
tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya
pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat
kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di
Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya
bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual
dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari
masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita
persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan
dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan
dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan
jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang
sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak
butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai
dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang
bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan
mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan
didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah
pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini
hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian.
Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya,
sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks
masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan
tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang
menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah
dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi
dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya
untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga
secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju
masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau
sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk
mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan
landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka
konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat
multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua
akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap
masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan
untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah
multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau
partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan
diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan
bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan
bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide
tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan
untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan
kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor,
yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat
yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak
struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil
maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang
tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi
dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan
dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan
budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan
adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun
pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak
inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan
dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan
pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk
meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme
untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya
termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi
bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di
Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh
Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa
yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung
cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama
dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat
Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

0 komentar:

Posting Komentar