468x60 Ads

This is an example of a HTML caption with a link.

Tumbuhkan Kecintaan Budaya Bangsa


T. Wijaya | 01.17 |


Beberapa orang sedang menyaksikan pameran foto yang digelar di GOS Kotabaru.(F:Kholis)
JAMBI – Sebagai upaya mendorong tumbuhya rasa cinta terhadap hasil budaya bangsa Indonesia, khususnya budaya Provinsi Jambi, baik yang diwariskan nenek moyang, maupun yang sedang berkembang saat ini, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Nurdin Hamzah, mengadakan lomba dan pameran fotografi, yang dikemas dalam konsep Art and Culture Growth Event of  STISIP  2011.

Kegiatan yang juga didukung Posmetro Jambi, sebagai media patner tersebut, dilaksanakan di Gedung Olah Seni (GOS) Kotabaru Jambi, tanggal 12-14 Juli mendatang, dengan tema “Budaya Dalam Lensa”. Disampaikan Tri Juniwati, ketua panitia pelaksana, jika kegiatan tersebut, juga sebagai wujud kecintaan STISIP Nurdin Hamzah terhadap budaya, dan memberikan ruang ekspresi serta apresiasi kepada masyarakat pecinta fotografi untuk dapat meningkatkan kreativitas dalam pengambilan objek budaya. “Foto di samping sebagai alat dokumentasi juga sebagai media komunikasi visual yang mempunyai peran sangat penting dalam penyebarluasan informasi, tak terkecuali mengenai budaya,” ujarnya, ketika ditemui di sela-sela kegiatan, kemarin.

Dengan adanya kegiatan lomba dan pameran fotografi tersebut, dirinya berharap dapat memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat tentang keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Ia katakan, kebudayaan merupakan karakter dan jati diri bagi setiap bangsa dan daerah. Bangsa Indonesia, khususnya provinsi Jambi, memiliki keragaman budaya yang tersebar di seluruh pelosok, dengan keunikan dan indentitas masing-masing.Untuk itu, dirinya bersama rekan lain, memiliki pemikiran jika  keberagaman budaya tersebut harus didokumentasikan dan dipublikasikan kepada masyarakat. Sehingga timbul peduli untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.Kegiatan tersebut ternyata mendapat respon yang positif dari berbagai pihak, hal ini terlihat banyaknya karya fotografi yang dipamerkan dalam galeri seni, GOS Kotabaru. “Untuk peserta sendiri berasal dari pelajar, mahasiswa dan umum. Untuk setiap peserta maksimal menyerahkan dua karyanya, dan tidak dipungut biaya pendaftaran,” sebutnya. Jumlah pengunjung, diperkirakan akan semakin meningkat, karena, kegiatan ini tidak hanya lomba foto dan pameran saja, namun dirangkai dengan whorkshop fotografi yang bakal digelar 14 Juli mendatang, dengan nara sumber Hari Shintu, fotografer buku Abhayagiri, karya Tri Utami dan beberapa nara sumber lainnya.Dirinya berharap, kegiatan ini bisa menjadi wadah bagi pecinta fotografi dan memberikan informasi yang menarik bagi masyara

Melestarikan Aset Budaya Bangsa Indonesia Melalui Teknologi Digital dan Internet


T. Wijaya | 01.12 |

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Indonesia memiliki pulau yang jumlahnya mencapai 18.306 pulau, namun yang berpenghuni hanya sekitar 6.000 pulau saja. Maka, dengan jumlah pulau sebanyak itu, yang membentang dari Sabang sampai Merauke, tidak mengherankan jika Indonesia dijuluki sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Sebagai negara yang terbentuk dari gugusan pulau, maka batas wilayah laut Indonesia pun cukup luas.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk 240 juta lebih, maka sudah pasti penduduk yang berasal dari berbagai kepulauan tersebut memiliki keanekaragaman budaya yang istimewa. Selain budaya, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku juga memiliki ribuan bahasa, bahkan di wilayah Nusa Tenggara, berbeda desa bisa berbeda bahasa. Sungguh karunia Tuhan yang sangat istimewa, itulah sebabnya semboyan bangsa Indonesia berbunyi Bhineka Tunggal Ika yang berate berbeda-beda tapi tetap satu.
Namun sampai detik ini masih banyak kekayaan budaya bangsa Indonesia yang belum dikenal oleh masyarakat luas, dan parahnya bahkan ada beberapa warisan atau aset budaya Indonesia yang sudah diakui oleh negara lain. Oleh karena itu perlu dilakukan pendataan warisan budaya di Indonesia agar tetap terjaga kelestariannya. Nilai luhur bangsa Indonesia banyak yang termanifestasikan dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Begitu banyak kebudayaan bangsa Indonesia yang bisa kita temui mulai dari tari-tarian daerah, pakaian dan rumah adat, tempat-tempat bersejarah, maupun lagu-lagu daerah yang berasal dari Aceh hingga Papua.
Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin canggih dengan hadirnya teknologi digital seperti kamera digital, laptop bahkan computer jenis tablet pun sudah marak dikalangan masyarakat Indonesia. Selain itu, teknologi internet yang kian hari mudah diakses juga turut menyumbang perkembangan teknologi tersendiri. Teknologi digital tersebut bisa dimanfaatkan untuk melestarikan aset kebudayaan bangsa Indonesia yang kian hari terlupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Contoh saja kerjasama digitalisasi naskah-naskah jawa kuno yang ada di kraton Yogyakarta oleh Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Sebuah lembaga riset Sejarah Jawa dari Jerman dan pihak Kraton Yogyakarta sebagai suatu upaya pelestarian budaya jawa yang basisnya di Yogyakarta. Ada juga digitalisasi huruf-huruf jawa ( ha na ca ra ka …dst..) menggunakan flash macro media yang sangat mudah untuk dipelajari, bahkan didalamnya ada game tebak menebak hurufjawa.
Selain itu, teknologi internet yang sekarang sangat mudah diakses juga bisa menjadi media yang sangat efisien dan efektif untuk mempublikasikan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan pelajar bisa memanfaatkan internet untuk mengenalkan budaya daerah mereka masing-masing, sehingga budaya bangsa Indonesia tidak hanya dikenal oleh masyarakat nasional namun juga internasional. Para pelajar bisa menggunakan fasilitas publikasi gratis yang terdapat di internet seperti google, youtube, blog, facebook, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sangat penting untuk menggalakan penggunaan media internet sebagai salah satu media untuk melestarikan budaya dan nilai luhur bangsa, sehingga generasi bangsa Indonesia lebih banyak merasakan dampak positif internet dibandingkan dampak negatifnya.

Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural


T. Wijaya | 01.08 |

Dalam tulisan saya (Suparlan 2001a, 2001b) telah saya bahas dan tunjukkan bahwa cita-cita reformasi untuk membangun
Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan
kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya
dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial
dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi
yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan
kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru
yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika
bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.


Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya telah
digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila:
(1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan
bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan
pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya,
dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.


Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing.
Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di
media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme
akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang
Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang
Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas
dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada
tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna
di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif
melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas
untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam
berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).

Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena
corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang
Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh
para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah
dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di
tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar
dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer
(1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa
sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan
multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.

Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan
sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara
para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan
multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang
relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..


Pemahaman Tentang Multikulturalisme

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau
setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai
oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya
bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur
kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan
politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak
kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah
korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak
nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam
struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi
keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman
etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?

Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh
berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber
daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa
Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang
negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut
akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada
tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan
pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan
konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.

Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam
memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas,
dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan
birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau
tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya
pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)

Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat
kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di
Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya
bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual
dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari
masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita
persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan
dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan
dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan
jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang
sesuai dengan itu.

Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak
butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai
dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang
bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan
mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan
didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah
pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini
hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian.
Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya,
sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks
masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan
tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang
menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.

Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah
dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi
dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya
untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga
secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju
masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.

Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau
sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk
mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan
landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka
konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat
multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua
akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.

Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap
masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan
untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah
multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau
partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan
diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan
bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan
bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide
tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan
untuk turut melakukan reformasi.

Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan

Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan
kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor,
yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat
yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak
struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.

Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil
maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang
tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi
dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan
dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan
budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya.

Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan
adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.

Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun
pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak
inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan
dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan
pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk
meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.

Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme
untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya
termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi
bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di
Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh
Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa
yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)

Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung
cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama
dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat
Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.

UNESCO Akui Angklung Budaya Bangsa Indonesia


T. Wijaya | 01.05 |

243angklung-arum tresnaningtyas.jpg
Setelah wayang, batik, dan keris, kini angklung “resmi” ditetapkan sebagai budaya bangsa Indonesia. Pengukuhan terhadap angklung ini dilakukan pada sidang kelima Komite Antar Pemerintah tentang Perlindungan Warisan Budaya Takbenda UNESCO di Nairobi, Kenya (Rabu,17 November 2010).
Dalam sidang tersebut UNESCO menyatakan bahwa angklung telah memenuhi kriteria sebagai warisan budaya takbenda dunia (world intangible cultural heritage) karena memiliki nilai-nilai dasar kerjasama, saling menghormati dan keharmonisan sosial, yang merupakan unsur utama dari identitas budaya masyarakat Jawa Barat dan Banten.
Setelah sempat diakui secara sepihak sebagai warisan budaya negara tetangga, kini bangsa internasional mengakui angklung sebagai salah satu keluhuran serta kekayaan budaya kita. Masihkah kita akan tutup mata dengan segala keragaman budaya negara kita? Masih relakah budaya bangsa kita diakui oleh negara lain? Sebagai generasi penerus bangsa, mari kita lindungi dan lestarikan budaya bangsa kita yang tak ternilai ini!

Presiden Sampaikan Keragaman Budaya Indonesia di Sesi Khusus UNESCO


T. Wijaya | 01.01 |

Presiden Yudhoyono (kanan) saat menyambut kedatangan PM Republik Perancis Francois Fillon di Istana Merdeka, Jakarta, 1 Juli 2011 lalu. Presiden Yudhoyono dan PM Fillon beserta masing-masing delegasi melakukan pertemuan bilateral guna meningkatkan hubungan kerja sama antara kedua negara. Foto: Investor Daily/DAVID GITA ROZA

PARIS - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu (2/11) dijadwalkan akan menyampaian pandangan mengenai upaya pemerintah Indonesia dalam menjaga dan mengembangkan keragaman budaya dalam sesi khusus sidang UNESCO untuk memperingati 10 tahun deklarasi keragaman budaya.

Presiden dijadwalkan akan menyampaikan pandangan itu Rabu pagi waktu setempat atau Selasa sore waktu Indonesia di markas besar UNESCO di Paris, Perancis. "Indonesia dipilih untuk menyampaikan pidato utama karena mereka menilai Indonesia memiliki contoh budaya yang amat beragam ...yang pada akhirnya menjadi kekuatan," kata Presiden sebelum bertolak menuju Prancis.

"Mereka tahu managing diversity (menangani keanekaragaman, red) bukan sesuatu yang mudah dan apa saja yang dilakukan dalam kaitan itu," ujarnya.

Presiden dan rombongan tiba di bandara Orly Paris pada Minggu (31/10) malam pukul 20:30 waktu setempat atau Senin (1/11) pukul 02:30 WIB.

Pada Selasa (1/11) Presiden dijadwalkan beramah tamah dengan jajaran kedutaan besar RI di Perancis dan perwakilan masyarakat Indonesia dalam sebuah acara makan pagi dan sore harinya Presiden dan Ibu Negara akan menghadiri acara peluncuran edisi buku "Harus Bisa" karya Dino Patti Djalal dalam bahasa Perancis.

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merupakan organ Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan pada 16 November 1945 melalui penandatanganan konstitusi UNESCO oleh 37 negara. Konstitusi itu sendiri baru berlaku pada 1946 setelah Yunani menjadi negara ke-20 yang meratifikasinya.

Badan PBB itu mempunyai tujuan untuk menciptakan perdamaian melalui pengetahuan dengan melaksanakan strategi yang berdasarkan prinsip dan norma universal serta nilai-nilai bersama di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya dan komunikasi/informasi.

Strategi dasar UNESCO dalam menjalankan misinya tersebut adalah dengan membuka jalan menuju ilmu pengetahuan serta memperluas komunikasi dan saling pengertian di antara sesama manusia.

Saat ini badan PBB tersebut memiliki 193 negara anggota dan tujuh asosiasi internasional.

Indonesia sendiri menjadi anggota badan PBB tersebut pada 27 Mei 1950. Pada awalnya Kepala Kantor Wakil RI pada UNESCO dirangkap oleh duta besar RI untuk Perancis. Pada 1956 pejabat yang ditunjuk mewakili RI diparcayakan pada atase pendidikan dan kebudayaan, Kemudian pada 1968 sampai 1972 jabatan itu kembali dirangkap oleh duta besar.

Dengan peningkatan keterlibatan Indonesia dalam berbagai program UNESCO termasuk pemugaran Candi Borobudur maka pada 1972 pemerintah mengangkat wakil RI untuk UNESCO dengan gelar Duta Besar, agar penanganan masalah-masalah UNESCO terutama yang berkaitan dengan kepentingan RI dapat dilakukan dengan baik.

Mempertahankan Identitas Keanekaragaman


T. Wijaya | 00.53 |

Dunia mengakui jika Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya. Keberagaman budaya yang ada di Indonesia sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Kita sebagai warga Negara Indonesia seharusnya bangga akan hal itu karena tidak semua Negara bisa memiliki kebudayaan sekaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Jika melihat dan memperhatikan keanekaragaman budaya Indonesia hal tersebut mungkin tidak akan pernah terhitung nilainya.  Mulai dari aneka ragam suku bangsa, bahasa daerah, tarian tradisional, nyayian rakyat, pakaian tradisional, ukir-ukiran tradisional, arsitektur tradisional, makanan tradisional serta yang tidak kalah penting adalah gugusan kepulauan yang membentuk negeri ini menambah keanekaragaman Indonesia. Akibat keanekaragaman tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang menjadi incaran wisatawan asing. Sektor pariwisata khususnya wisata budaya bisa sangat menjual bagi Indonesia.
Namun sebagai warga negara Indonesia, terkadang saya merasa sedih karena walaupun Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, namun masih banyak sekali warga negaranya yang kurang peduli terhadap keanekaragaman budaya yang dimiliki. Banyak diantara mereka yang justru lebih membanggakan kebudayaan dari bangsa lain. Entah apa yang menyebabkan mereka seperti itu.
Kadang saya berpikir jika melihat realita yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, banyak kebudayaan Indonesia yang “di akui”  menjadi kebudayaan asli negara lain. Tentunya hal tersebut menyinggung perasaan kita sebagai “pemilik bersama” kebudayaan yang telah “di akui” tersebut. Sepertinya kita kurang peduli dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki sampai-sampai ada negara lain ada yang beberapa kebudayaan yang kita miliki sebagai kebudayaannya.
Misalnya kasus claim dari negara tetangga kita yakni Malaysia terhadap beberapa kebudayaan asli Indonesia seperi batik, tari reog ponorogo, makanan rendang, serta beberapa pulau kecil diperbatasan Indonesia dan Malaysia. Diawali dari lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menjadi bagian dari wilayah negara Malaysia, mulai muncul pula beberapa kebudayaan kita yang telah “di akui” menjadi kebudayaan asli mereka. Hal tersebut mungkin bisa sedikit menggambarkan betapa mudahnya Malaysia mengambil satu per satu aset negara kita.
Dari hal tersebut memunculkan pertanyaan, “Kemanakah bangsa Indonesia selama ini sehingga banyak kebudayaan asli Indonesia yang seakan “lari” satu per satu menjadi bagian dari negara lain?”
Pertanyaan tersebut bisa menjadi bahan renungan bagi bangsa kita. Belakangan ini rasa nasionalisme khususnya bagi bangsa Indonesia itu sendirinya sepertinya sangat kurang sekali. Bangsa kita seakan tercerai berai dengan problematika yang ada masing-masing sehingga rasa persatuan dan kesatuan pun seakan perlahan akan lenyap.
Jika keadaannya seperti itu, bagaimana bisa bangsa ini mempertahankan identitasnya khususnya identitas keanekaragaman yang kita miliki bersama. Identitas tersebut bisa saja lambat laun akan musnah dan menghilang jika bangsa ini tidak segera menyadarinya. Jika keadaan seperti itu terjadi, kita akan kehilangan identitas asli kita sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman budaya di mata internasional.
Oleh karena itulah kita harus segera bangkit dari semua keterpurukan ini. Bangsa ini harus segera bangun dari mimpi buruk yang sedang dialaminya. Secepatnya menata kembali kesatuan dan persatuan yang sempat terpecah belah. Karena jika kesatuan dan persatuan terpelihara, maka kita bisa secara bergotong rotong menjaga serta mempertahankan identitas kita sebagai bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya. Dan hal tersebut merupakan tanggung jawab kita bersama.
Keanekaragaman budaya yang kita miliki merupakan warisan yang tak ternilai dari nenek  moyang kita. Sebisa mungkin kita harus menjaga dan mempertahankannya karena warisan tersebut adalah identitas lita bersama. Kita sebagai bangsa Indonesia bisa mempertahankan dan melestarikannya melalui berbagai cara.
Misalnya saja dengan cara lebih memperkenalkan keanekaragaman budaya tersebut ke mata internasional. Belakangan ini mencuatnya kasus “claim” terhadap beberapa budaya asli Indonesia oleh negara lain salah satunya disebabkan karena kita kurang memperkenalkan budaya tersebut sebagai identitas asli kita. Dan keadaan tersebut menjadi senjata yang ampuh bagi negara lain untuk “merebut” beberapa budaya kita.
Oleh karena itu kiranya menjadi sangat penting untuk lebih gencar lagi upaya kita bersama untuk memperkenalkan keanekaragaman budaya yang kita miliki kepada dunia internasional. Hal tersebut bisa dilakukan berbarengan dengan promosi pariwisata Indonesia. Salah satu daya tarik yang menjual dalam hal pariwisata Indonesia selain memiliki alam yang indah, keanekaragaman budaya Indonesia juga menjadi faktor pemikat yang penting.
Dari sabang sampai merauke tersimpan keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Namun belum semua keanekaragaman tersebut terpromosi dengan baik. Oleh karena itu kita sebagai bagian dari pemilik budaya tersebut perlu secara bersama untuk memperkenalkannya.
Selama ini memang sepertinya banyak diantara kita yang kurang peduli terhadap keanekargaman yang kita miliki dan lebih cenderung untuk membanggakan budaya negara lain. Misalnya saja kebudayaan dari negara Jepang maupun Korea. Masyarakat Indonesia khususnya para pemuda pemudi seakan lebih mengagumi budaya dari kedua negara tersebut dibanding dengan kebudayaan asli bangsa sendiri. Tentunya hal tersebut sangat menyedihkan. Sebagai generasi penerus bangsa ini seharusnya kita para pemuda pemudi Indonesia seharusnya lebih mencintai keanekaragaman budaya sendiri dibanding dengan budaya asing. Karena jika bukan kita sebagai generasi penerus, siapa lagi yang akan terus menjaga dan melestarikan keanekaragamn budaya yang kita miliki?
Pertanyaan tersebut perlu kita renungkan bersama. Para pemuda pemudi bangsa ini perlu untuk lebih mengenal keanekaragaman yang kita miliki bersama. Jika perlu kita harus membantu pemerintah mengenalkan keanekaragaman budaya yang kita miliki kepada internasional. Kita bisa menjadi duta bangsa yang memperkenalkan kekayaan kita kepada internasional.
Mungkin saja jika kita terus mengenalkan keanekaragaman yang kita miliki, kasus “pengakuan” dari negara lain misalnya saja malaysia dapat terhindari. Karena salah satu penyebab adanya pengakuan terhadap budaya kita oleh negara lain adalah lemahnya rasa nasionalisme, kecintaan serta kebanggan kita terhadap budaya dari negeri sendiri.
Mulai dari sekarang, kita sebagai pemuda pemudi bangsa ini harus bergotong rotong untuk terus mempertahankan keanekaragamn budaya yang kita miliki. Kesadaran sedini mungkin untuk turut menjaga dan melestarikan keanekargan budaya bangsa sangat baik sekali. Kita perlu lebih untuk mencintai keanekaragaman budaya yang kita miliki. Rasa bangga yang kita miliki bersama khususnya terhadap keanekaragamnan budaya yang kita miliki menyebabkan kita semua bisa bersatu. Karena dengan adanya rasa bangga dan rasa saling memiliki dapat menyebabkan kita semua bergotong royong untuk terus mempertahankan identitas asli yang kita miliki.
Jika kita bersatu, tentunya gesekan-gesekan kecil yang dapat menghancurkan dapat segera kita lenyapkan. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah menumbuhkan rasa bangga terhadap apa yang kita miliki bersama dan berusaha untuk terus mempertahankan apa yang kita miliki tersebut. Jika bukan kita sebagai generasi penerus bangsa ini, siapa lagi yang akan mempertahankan apa yang telah diwarisi oleh nenek moyang kita tersebut?
Oleh karena kita yang terpenting mulai dari sekarang adalah kita harus secepatnya bangkit dari ketidakpedulian kita selama ini. Secepatnya menumbuhkan kembali  rasa kebanggaan dan kecintaan kita terhadap keanekaragaman yang kita miliki bersama adalah hal penting yang harus segera kita lakukan dan kita pertahankan sampai kapanpun. Apa yang dimiliki bangsa ini akan lenyap jika kita bangsa Indonesia sebagai pemilik bersama keanekaragaman budaya tersebut kurang tanggap terhadap yang kita miliki selama ini.
Untuk itulah rasa nasionalisme harus terus dipupuk agar kita bisa lebih mencintai, bangga serta berusaha untuk tetap mempertahankan apa yang telah Tuhan Yang Maha Esa anugerahkan kapada kita semua, bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme tersebut yang akan mengikat kita semua untuk tetap setia menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Dan hal tersebut wajib ditanamkan serta dimili oleh kita semua, bangsa Indonesia.

Merebut Kembali Kedaulatan Bangsa Melalui Ketahanan Budaya


T. Wijaya | 00.51 |

Diversitas budaya bangsa Indonesia menjadi sebuah anugerah yang membuat kita terlena. Terlalu nyaman buat kita memiliki keragaman budaya ini. Hingga setelah lagu kita, baju kita, sampai masakan kita diambil orang baru kita menyadari bahwa ternyata kita kaya. Dalam contoh kecil, relatif mudah bagi kita saat ini untuk mendapatkan informasi seputar upaya akuisisi seni pertunjukan Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, alat musik Angklung, masakan Rendang dan berbagai derivat Batik yang didukung secara sadar oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia misalnya, atau pematenan penganan Tempe oleh Institusi riset di Jepang, dan Kopi Gayo oleh oknum warga Negara Belanda, dan seterusnya. Bahkan di dalam negeri, tak pelak lagi diversitas budaya telah membuat kondisi sosial kemasyarakatan kita rentan untuk bercerai berai. Hal ini harus segera kita sadari, dan harus kita yakini bahwa kalau tidak segera ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya maka kita akan sulit berharap tentang Kedaulatan Bangsa ini beberapa tahun mendatang.

Jika kita tilik lebih dalam, selama ini pengaturan kepemilikan ekspresi budaya tradisional di dunia belum pernah diatur secara jelas. Kepemilikan terhadap suatu properti tertentu lebih mudah bila dikaitkan dengan konsep kekayaan intelektual. Bukan berarti keduanya memiliki kesamaan konseptual tentang dasar kepemilikan atas properti tetapi hanya karena pengaturan kekayaan intelektual sudah lebih dulu ada dan mudah dalam proses penerapannya karena hanya menyangkut satu individu saja. Padahal sudah jelas keduanya sangat berbeda. Sedangkan ide tentang kepemilikan kekayaan intelektual sendiri bersumber dari gagasan John Locke pada bukunya bukunya The second Treatise of Governance (1690) yang lahir sebagai akibat dari pemaksaan kepemilikan yang dilakukan raja atas aset rakyatnya. Karena sifatnya yang berorientasi pada individu, ide kepemilikan pribadi dirasakan kurang pas jika dijadikan pijakan untuk melindungi kekayaan budaya disamping secara natural budaya bersifat komunal, dinamis, dan diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, kepemilikan budaya lebih tepat jika berdasar pada konsep kepemilikan kolektif bukan kepemilikan individu. Sehingga secara tegas kita bisa katakan bahwa pengaturan kepemilikan atas ekpresi budaya yang didasarkan pada kepemilikan individu adalah tidak tepat dan menjadi salah kaprah apabila terus dilakukan. Pengaturan kepemilikan ekspresi budaya tradisional di Indonesia, sebagaimana terefleksikan dalam pasal 10, Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 pada kenyataannya tidak memuat batasan-batasan yang dapat dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional yang perlu dilindungi, bentuk perlindungan yang dilakukan, serta kewenangan regulator dalam mengatur penggunaan ekspresi budaya tradisional. Kesalahan ini seharusnya tidak dapat kita biarkan begitu saja, karena secara konseptual-pun Undang-Undang ini tidak sesuai. Sebuah tindakan nyata tentunya harus segera dilaksanakan.

Pada skala internasional isu tentang prosedur perlindungan ekspresi budaya tradisional sudah mulai ditangani serius oleh sebuah lembaga di bawah naungan PBB yang bertugas mengatur Kekayaan Intelektual dengan nama WIPO (World Intellectual Property Organization). Draft Ketentuan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional WIPO ini mestinya memberi tantangan tersendiri bagi kita sebagai bangsa yang sangat bhinneka dalam hal etnisitas dan kekayaan ekspresi budayanya dalam hal ketahanan budaya nasional. Sebagai gambaran, pada Pasal 2 draft tersebut disebutkan bahwa pemilik ekspresi budaya tradisional diserahkan pada Kustodian yaitu komunitas pemelihara dan pengembang ekspresi budaya tradisional. Hal ini kontras dengan lokalitas kita di Indonesia mengingat sebuah ekspresi budaya secara historis melekat pada daerah tertentu justru seringkali turut dikembangkan secara turun-temurun di daerah lain yang juga memiliki ekspresi budayanya sendiri. Dengan demikian, kita bisa menduga jika Indonesia meratifikasi draft ini maka akan timbul potensi permasalahan hak kepemilikan budaya akibat ketidakcukupan konsep dalam draft WIPO untuk merangkum kebutuhan perlindungan dan pengembangan budaya tradisional bagi negara-negara dengan diversitas kultural tinggi.

Draft WIPO juga menimbulkan permasalahan lain yang lebih serius yaitu hilangnya peran negara dalam realitas budaya nasional dengan mengkotak-kotakan penggiat budaya. Hal ini dapat mengurangi terjadinya interaksi antar komunitas budaya dan menimbulkan ketidakpedulian terhadap ekspresi budaya tradisional komunitas budaya lain. Sikap ketidakpedulian ini cenderung akan mendorong sifat chauvinistik kedaerahan dibanding sikap kebanggaan bersama sebagai satu bangsa. Hilangnya rasa kebanggaan budaya nasional yang terkotak menjadi kebanggaan budaya lokal dapat memicu pola disintegratif yang secara laten dapat merongrong rasa persatuan dan kesatuan yang justru akhir-akhir ini terasa sangat perlu kita bangkitkan sebagai bangsa.

Negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi harus secara tegas menyatakan posisinya dalam hal ketahanan budaya ini. Negara tak hanya berperan sebagai tentara penjaga garda atas kekayaan budaya kita tetapi juga sebagai pendorong majunya kretifitas perkembangan keragaman budaya ini. Di sisi lain Negara,Indonesia khususnya, harus berani menyatakan diri sebagai pemimpin yang berada di posisi paling depan dalam gerakan penyelamatan warisan dunia (World Heritage Conservation)karena Indonesialah yang paling mungkin memliki pengalaman dalam gerakan ini yang diperkuat dengan diversitas budaya yang dimiliki.

Ancaman nyata yang kita hadapi adalah jika ekspresi budaya tradisional yang kita miliki hilang atau diklaim oleh pihak lain maka identitas sebuah bangsa Indonesia akan ikut menghilang. Hal ini sangat membahayakan bagi kesatuan dan kedaulatan bangsa. Maka sebagai langkah awal, perlindungan ekspresi budaya tradisional seharusnya dapat segera dilakukan. Solusi yang tepat adalah dengan menyerahkan hak kepemilikan ekspresi budaya tradisional kepada negara dengan harapan hal ini mampu menumbuhkan rasa kepemilikan bersama sehingga kita dapat terhindar dari proses disintegrasi bangsa. Negaralah nantinya yang akan melakukan tindakan perlindungan terhadap ekspresi budaya yang bersifat mengatur, menjaga dan mengembangkan ekspresi budaya tradisional sebagai bagian dari ketahanan nasional. Secara khusus kita akan menyebutnya sebagai bentuk Ketahanan Budaya, yang secara aktual, konsep ini bersumber dari cara pandang kita akan budaya nasional kita dengan segala ke-bhineka-annya. Wawasan Nusantara yang berperspektifkan budaya daerah yang memperkaya budaya nasional yang sekaligus peka terhadap globalisasi merupakan bahan baku yang sangat kita perlukan dalam konteks ini. Penelitian akan kompleksitas Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dalam buku Solusi untuk Indonesia (2008) yang diterbitkan pusat studi kompleksitas Indonesia, Bandung Fe Institute, juga telah menginsyaratkan hal ini. Perspektif mutakhir atas budaya nasional yang memperkaya khazanah Wawasan Nusantara, memiliki suatu urgensi yang kuat bagi bangsa kita untuk memper-erat persatuan kita yang terkatung-katung di era liberal dan mengglobal saat ini.

Langkah nyata yang harus segera dilakukan dan mungkin dilakukan adalah membentuk aturan perundang-undangan dalam negeri yang menyediakan kebutuhan pengelolaan keragaman budaya nasional. Perlindungan secara hukum perundang-undangan terhadap keragaman budaya nasional, selanjutnya dapat dijadikan pijakan dasar untuk menjaga kedaulatan bangsa sehingga bisa diakui di dunia internasional. Lebih jauh, harus ada sebuah kesadaran dan pengakuan oleh dunia internasional bahwa perundang-undangan akan kepemilikan Negara terhadap ekspresi budaya, sangat diperlukan oleh Indonesia guna menjaga ketahanan nasional dan kedaulatan negaranya. Hal ini tentunya bisa dijadikan momentum bersama bangsa Indonesia dalam memaknai Kebangkitan Nasional yang baru, yang diwujudkan dalam tindakan nyata dalam menegakkan kedaulatan bangsa melalui Konsep Pertahanan Budaya. Sudah saatnya kini bangsa Indonesia membuat suatu perlindungan hukum semisal Paten Negara atau yang lebih jauh Pengakuan Internasional bagi Ekspresi Budaya Bangsa Indonesia.

Keragaman Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa


T. Wijaya | 00.38 |

Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman atas Wawasan Nusantara sebagai nilai dasar Ketahanan Nasional serta sebagai pemersatu keragaman budaya bangsa.

Belakangan ini banyak kita menyaksikan bahwa budaya-budaya bangsa Indonesia diklaim sebagai budaya bangsa lain, misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet, Keris, Batik, serta lagu-lagu daerah yang ditiru. Entah karena masih memiliki sikap Nasionalisme, atau sekedar ikut-ikutan tersulut suasana, segenap bangsa Indonesia ramai-ramai mengutuk negara tersebut sebagai pencuri budaya bangsa lain. Apakah warga negara Indonesia hanya bersatu bila dijajah negara lain atau bila budaya bangsa dicuri bangsa lain saja? lalu dimana peranan warga negara dalam upaya melestarikan budaya bangsa?

Ketika kita mengunjungi daerah-daerah wisata, banyak keindahan-keindahan alam dan budaya yang bisa kita nikmati sebagai rahmat dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun momen indah tersebut malah kita lewatkan dengan menyibukkan diri berfoto ria kesana-kemari. Sudah seharusnya kita mempelajari dan melestarikan budaya-budaya yang ada agar generasi penerus masih bisa menikmatinya, serta mengembangkan nilai-nilai budaya daerah yang membangun kebanggaan masyarakat terhadap daerah, sekaligus bangsa Indonesia.

Sering kita mendengar terjadi kerusuhan-kerusuhan antar etnis di Indonesia yang mengatasnamakan suku maupun agama, misalnya yang terjadi di Sampit dan Poso. Bahkan, terkadang pemicu kerusuhan itu hanya masalah-masalah sepele yang tidak semestinya mengikutsertakan golongan-golongan tertentu. Sebagai bangsa yang menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai dasar negara, sudah seharusnya kita mencegah perlakuan diskriminasi guna menghindari sikap sukuisme dan fanatisme kedaerahan yang sempit yang membelenggu kebebasan individu dalam mengembangkan kualitasnya sebagai bangsa yang majemuk. oleh karena itu, diperlukan kesadaran masyarakat dalam menerima keanekaragaman yang ada, serta saling menghormati dan menghargai perbedaan itu sebagai karunia Sang Pencipta, serta peranan lembaga adat dan para pemuka agama dalam mewujudkan suasana aman dan kondusif guna menjalin kerukunan bangsa dan negara.

Sebagai tujuan kita mempelajari Wawasan Nusantara yaitu untuk memantapkan sikap Nasionalisme yang tinggi dan tekad mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi dan golongan untuk mencapai tujuan nasional dengan diiringi rasa senasib seperjuangan sebagai bangsa yang bertanah air satu, bangsa Indonesia.
 

Jenis Fashion Indonesia Wakili Keragaman Budaya


T. Wijaya | 00.35 |

kebaya.jpg

BANGKAPOS.COM, DENPASAR - Indonesia mewarisi keragaman desain fashion dalam bingkai fashion tradisional dari berbagai daerah di Tanah Air yang mampu berfungsi sebagai jembatan budaya bangsa.

"Dari keberagaman suku bangsa di Indonesia mampu mencerminkan berbagai jenis fashion yang mewakili masing-masing daerah di tanah air," kata Dosen interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (FSRD ISI), Tjok Istri Ratna Cora  Sudharsana, di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan, mengamati kekayaan bangsa dalam ranah fashion mampu membangkitkan rasa untuk dapat mengeksplor lebih dalam dan diharapkan mampu menopang jurusan desain fashion pada FSRD ISI Denpasar.

Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyetujui jurusan desain fashion bersama dua program bidang studi  masing-masing  program studi pendidikan seni, drama, tari dan musik (Sendra klasik) dan prodi vedeo, TV dan Film.

Oleh sebab itu pendirian  jurusan desain fashion FSRD ISI yang akan mulai menerima mahasiswa baru pertengahan tahun ini menitikberatkan pada teori dan praktik kreatif berbasis budaya lokal Bali dan nasional.

Tjok Istri Ratna menambahkan,  kehadiran jurusan desain fashion pada FSRD ISI Denpasar untuk menjawab tantangan dan tuntutan  menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan pasar kerja.

Selain itu, mampu membaca peluang untuk menjadikan  desain fashion sebagai salah satu jembatan budaya bangsa Indonesia dalam dunia global untuk bisa menemukan identitas diri.

Dengan demikian diharapkan mampu menemukan sebuah keunikan identitas tanpa meninggalkan karakter bangsa. Hal penting lainnya memiliki rasa bangga menggunakan produk Indonesia dalam kemasan desain fashion.

Cita rasa tersebut menjadi tujuan akhir dari perpajalan panjang suatu pandangan bertajuk "brand image" yang melandasi pendirian jurusan desain fashion FSRD ISI Denpasar, harap Tjok Istri Ratna.
 

Keragaman Budaya


T. Wijaya | 00.08 |

Bahasa Daerah

Setiap suku bangsa mempunyai bahasa daerah yang khas. Ada bahasa Jawa, bahasa Minangkabau, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Madura, dan sebagainya. 

Adat Istiadatnya

Ada bermacam - macam adat istiadat. Contohnya upacara adat yang dipakai waktu orang menikah, waktu orang melahirkan, waktu orang meninggal, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kadang - kadang, upacara - upacara ini dipadukan dalam agama yang dianut masyarakat. Meskipun berbeda - beda, adat istiadat ini menunjukkan kekayaan budaya yang sangat indah yang dimiliki bangsa Indonesia. Bagaimana dengan adat istiadat di daerahmu? Coba ceritakan bagaimana upacara perkawinan atau kematian di daerahmu. Bagaimana masyarakat di daerahmu menyambut kelahiran bayi, menyelenggarakan upacara pemotongan rambut bayi, sunatan, dan sebagainya? Coba ceritakan semuanya ini kepada teman - temanmu.
Image:upacara nikahan.JPG








Bentuk Rumah Adat


Bentuk rumah suku - suku bangsa yang ada di Indonesia juga bermacam - macam. Misalnya:
  • Rumah adat Sumatera Barat disebut Rumah Gadang.
  • Rumah adat Jawa Tengah dan Yogyakarta disebut Rumah Joglo.
  • Rumah adat Sulawesi Utara disebut Rumah Pewaris.
  • Rumah adat suku Toraja disebut Rumah Tongkanan.
  • Rumah Betang di Kalimantan Tengah.
  • Rumah Lobo di Sulawesi Tengah.
Image:lobo bentang.JPG






Kesenian Daerah


Ada bermacam-macam kesenian daerah, misalnya alat musik, tarian, lagu, dan seni pertunjukan. Berikut ini beberapa contoh alat musik daerah.
  • Alat musik Gamelan (Jawa).
  • Alat musik Kolintang (Minahasa).
  • Alat musik Calung dan Angklung (Jawa Barat).
  • Alat musik Sasando (Kupang).
  • Alat musik Gambang Kromong (Betawi).
Image:hertage.JPG





Pakaian Adat 

Selain fungsi utamanya sebagai penutup tubuh, pakaian juga menunjukkan budaya suatu daerah. Berbagai suku bangsa memiliki pakaian tradisionalnya sendiri. 
Image:pakaian adattt.JPG













Senjata Tradisional


Setiap daerah mempunyai senjata tradisionalnya sendiri - sendiri. Misalnya:
  • Badik, Golok, Trisula, Keris, dan Tombak sering dipakai orang Betawi
  • Rencong adalah senjata tradisional dari Aceh
Image:rwencong.JPG

  • Kujang adalah senjata tradisional dari Jawa Barat
  • Keris adalah senjata tradisional dari Jawa







Makanan Khas Daerah


  • Makanan khas orang Betawi antara lain Gado - gado, Ketoprak, Nasi Uduk, dan Kerak Telor.


  • Masyarakat Maluku memiliki makanan khas yang disebut Dabudabu Sesi.

  • Masyarakat Yogyakarta memiliki makanan khas yang disebut Gudeg.

  • Masyarakat Palembang memiliki makanan khas yang disebut Pempek.

  • Masyarakat Sumatera Barat memiliki makanan khas yang disebut Rendang.

    Lagu - Lagu Daerah



  • Gambang Suling dan Ilir - ilir dari Jawa Tengah.

  • Bubuy Bulan adalah lagu tradisional dari Jawa Barat.

  • Injit - injit Semut adalah lagu tradisional dari Jambi.

  • Sapu Tangan Bapuncu adalah lagu tradisional dari Kalimantan Selatan.

  • Soleram adalah lagu tradisional dari Riau.

  • Ampar - ampar Pisang dari Kalimantan Selatan.

  • Kalayar dan Tumpi Wayu dari Kalimantan Tengah.

  • Angin Mamiri dari Sulawesi Selatan.

  • Apuse dan Yamko Rambe Yamko dari Papua

  • Bungeng Jeumpa dari Nangroe Aceh Darussalam.

  • Burung Tentiana dan O Ulate dari Maluku

  • Sinanggar Tulo dari Sumatera Utara.

  • Kicir-kicir dan Keroncong Kemayoran dari Jakarta.

  •